Who What When & Where? Find Events!

Tiga Agama Satu Allah.[ II ]

Lanjutan Penggunaan Nama Allah [ I ]


SATU ALLAH TIGA AGAMA



Dalam dua dasawarsa terakhir ini ada gejala menarik di kalangan Kristen dimana banyak umat mengunjungi Israel untuk melihat situs-situs yang diceritakan dalam Alkitab. Diantara para peziarah itu ada yang kemudian terpengaruh adat-istiadat Yahudi kemudian mempraktekkannya di gereja mereka di Indonesia seperti perayaan Pondok Daun dan juga tari-tarian Yahudi. Namun, diantara mereka ada juga yang terpengaruh fanatisme sekte ortodox Yahudi fundamentalis yang kemudian mengganti nama mereka dengan nama Ibrani (seperti ben Abraham), ada yang terpengaruh Yudaisme kemudian menggugat amanat agung penginjilan (Matius 28:19), dan puncaknya ada yang memuja nama ‘Yahwe’ (sebutan yang tepat adalah Yahweh) dalam bahasa asli Ibrani dan tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa manapun.



Perlu disadari bahwa bahasa Ibrani bukanlah bahasa surgawi, dan kenyataannya Tenakh (Kitab Suci Yahudi yang kemudian diterima Kristen sebagai Alkitab Perjanjian Lama) sekitar abad-3sM, dengan restu Imam Besar Eliezer di Yerusalem, diterjemahkan di Aleksandria ke dalam bahasa Yunani dalam bentuk Septuaginta (LXX) dimana nama Yahweh diganti menjadi ‘Kurios’ dan El/Elohim menjadi ‘Theos.’ Septuagintalah yang digunakan Yesus dan umat Yahudi pada masa Yesus hidup (selain bahasa rakyat Aram), mengingat bahwa bahasa Ibrani kala itu hanya terdiri dari huruf mati sehingga sulit menjadi bahasa percakapan dan hanya menjadi bahasa suci di Bait Allah. Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani mengikuti kaidah dalam Septuaginta, dan firman Pentakosta disampaikan Rasul didengar dalam bahasa lokal termasuk Arab (Kisah 2:7-11).



Namun, kelompok pemuja nama Yahwe ini kemudian ingin memaksakan kehendak mereka dengan mengganti semua nama Tuhan dalam Alkitab Indonesia dan menggantinya dengan ‘Yahwe’ dan Allah dengan ‘Eloim.’ Bagi pemuja nama Yahwe, nama Allah dianggap nama ‘Dewa Air atau Bulan’ (lihat brosur ‘Siapakah Yang Bernama Allah Itu’ yang diterbitkan oleh Bet Yeshua Hamasiah) sehingga kalau umat menggunakan nama itu, itu berarti menghujat Yahwe. Semangat anti-Arab ini sempat membuat marah kalangan Islam tertentu (lihat ‘Fatwa Mati Untuk Seorang Penginjil’, Gatra, 10 Maret 2001), namun ada juga kalangan Islam tertentu yang menganggap serius masalah ini dan menganggap bahwa nama ‘Allah’ adalah milik Islam dan melarang umat Kristen menggunakannya.

Benarkah klaim-klaim demikian, ataukah pandangan itu fanatisme sempit yang justru merupakan masalah dan bukan masalah sebenarnya? Untuk mengerti lebih dalam soal ini ada baiknya kita mempelajari siapa Allah sesembahan Semitik/Samawi itu. Kita perlu menyadari bahwa ketiga agama Yahudi, Kristen maupun Islam, disebut sebagai agama Semitik/Samawi karena ketiganya berasal dari rumpun yang sama yang mendasarkan diri pada tradisi keturunan Sem, anak Nuh. Lebih dekat lagi ketiganya bisa disebut agama Abrahamik karena ketiganya berasal dari Abraham (Ibrahim dalam Islam) yang dikenal sebagai ‘Bapa Orang Beriman’ (Juga disebut bapak Monotheisme).



‘IL’ Semitik


Tuhan El (dengan padanannya Elohim & Eloah), nama Tuhan yang pertama digunakan dalam Alkitab Kejadian, sebenarnya berasal dari sesembahan ‘il’ Semitik Mesopotamia yang kemudian berkembang dalam dialek-dialek suku-suku keturunan yang kemudian terpencar dari sumber itu. Kita perlu menyadari bahwa para leluhur yang diceritakan dalam kitab Kejadian sebelum migrasi Terah, tinggal di Mesopotamia sekitar sungai Efrat dan Tigris (lihat daftar suku-suku dalam Alkitab Kejadian 10-12). Kemudian Terah dan keluarganya termasuk anaknya Abram (kemudian menjadi Abraham) meninggalkan Mesopotamia dan bermigrasi ke Kanaan (Kejadian 11:31).

Sebagai nama sesembahan, istilah ‘il’ Semitik lebih banyak digunakan sebagai ‘sebutan/panggilan/gelar’ pada awal bahasa rumpun Semitik. Kenyataan ini ditunjukkan dengan jelas di Semitik Timur, Akkadian Kuno (ilu) dan dialek-dialek di bawahnya sebelum masa Sargon (pra 2360sM) dan berlanjut sampai masa Babilonia Akhir. Penggunaan sebagai sebutan juga terlihat di Semitik Barat Laut, di Amorit (ilu, ilum, ila), Ugarit, Ibrani (el), dan Funisia. Di Semitik Selatan sebutan ‘il’ umum dipakai dalam dialek-dialek Arab Selatan, tetapi di Arab Utara, il disebut ‘ilah.’

Ternyata di kalangan Semitik ‘ilu’ dan ‘el’ juga digunakan sebagai nama diri. Penemuan teks Ugarit pada tahun 1929, menunjukkan bahwa ternyata dalam pentheon Kanaan, ‘il’ adalah nama diri kepala pantheon dan penggunaan sebagai sebutan jarang digunakan. Di Semitik Timur juga dijumpai penggunaan ‘il’ sebagai nama diri sesembahan, juga di Akkadian Kuno. Nama diri ini juga disebut sebagai ‘ilu’ dan ‘ilum’. Seringnya penggunaan ‘il’ sebagai nama diri dalam tulisan ketuhanan di Akkadian menunjukkan bahwa sesembahan ‘il’ (kemudian ‘el’ semitik) adalah tuhan kepala di dunia Semitik Mesopotamia pada masa pra-Sargon.

Penemuan penggalian di Amorit menunjukkan bahwa pada abad-18sM, tuhan ‘il’ memiliki peran besar, dan acapkali dipanggil sebagai ‘ila’ atau ‘ilah.’ Di Arab Selatan, juga banyak dijumpai ‘il’ sebagai nama diri. Dapat disimpulkan bahwa sejak masa awal bahasa-bahasa Semitik di Semitik Timur, Semitik Barat Laut, dan Semitik Selatan, ‘il/el’ sudah digunakan bersama baik sebagai sebutan maupun nama diri, sebagai Bapak dan Pencipta Kosmos.

Dari fakta-fakta di atas kita dapat mengetahui bahwa ‘il’ atau ‘el’ memang berasal dari sejarah Semitik Mesopotamia yang kemudian berkembang dalam berbagai dialek menjadi il, ilu, ilum, ila, ilah’, yang dalam dialek Ibrani menjadi ‘el’ yang adalah pencipta langit dan bumi dan yang mengutus Abraham. Kelihatannya untuk membedakan dengan nama sesembahan lain, kepada Musa kemudian dinyatakan nama kedua yaitu ‘Yahweh’ (Keluaran 6:1-2) sebagai Tuhannya khas orang Israel yang keluar dari Mesir, namun selanjutnya, nama diri ‘El’ juga masih digunakan sebagai sinonim Yahweh (bandingkan El Elohe Yisrael, Kejadian 33:20 dengan Yahweh Elohe Yisrael, Yosua 8:30).

Dalam dialek Semitik Arab, ‘il’ disebut ‘ila’ atau ‘ilah’ (Allah = al-ilah, ilah itu. Dalam dialek Semitik Ibrani penggunakan kata sandang untuk ‘el’ tidak umum). Kita mengetahui bahwa dari sumber Islam maupun Kristen bangsa Arab adalah keturunan dari empat jalur Semitik, yaitu melalui keturunan Aram (anak Sem – Palestina Timur Laut), keturunan Yoktan (anak Eber – Arab Selatan), keturunan Ismael (anak Abraham – Arab Utara), dan juga melalui keturunan Ketura (selir Abraham). Dari sini kita dapat melihat bahwa bangsa Arab dapat disebut termasuk rumpun Semitik (keturunan Aram anak Sem), Ibranik (keturunan Quathan/Yoktan anak Eber), dan juga Abrahamik (keturunan Adnan, keturunan Ismael anak Ibrahim), jadi bersaudara dengan orang Israel yang juga termasuk rumpun Semitik (keturunan Arphaksad anak Sem), Ibranik (keturunan Pelek anak Eber), dan Abrahamik (keturunan Ishak anak Abraham).

Dari kitab suci Yahudi (Tenakh/Perjanjian Lama), Kristen (Perjanjian Lama & Baru), maupun Islam (Al-Quran), kita dapat melihat nama-nama yang menunjuk orang-orang yang sama sekalipun dengan dialek berbeda (Abraham/Ibrahim, Yesus/Isa), dan pengajaran/aqidah yang berbeda pula. Peringatan Idul-Adha jelas terlihat menunjuk pada nama sesembahan yang sama yaitu El Abraham (Ibrani) atau Allah Ibrahim (Arab), namun berbeda dalam pengajaran/aqidahnya. Perjanjian Lama (Kejadian 22:1-2) maupun Perjanjian Baru (Ibrani 11:17-19) menyebut Ishak yang dikorbankan Abraham, Al-Quran (QS.37:99-113) tidak secara eksplisit menyebutkannya tetapi tradisi Arab menyebut nama Ismael sebagai yang dikorbankan Ibrahim.

Persaudaraan Yahudi dan Arab tidak bisa disangkali dari fakta sejarahnya. Sumber Islam mengakui bahwa bangsa Arab adalah termasuk rumpun Semitik, jadi bersaudara dengan Yahudi:

“Masyarakat Semit yang merupakan penduduk asli gurun pasir Arabia … . Masyarakat yang berdarah Arab asli dan berbahasa Arab tersebar di sepanjang jazirah Arabia, terbentang dari Yaman dan pantai Afrika dekat Yaman sampai kepada gurun pasir Syria dan Irak Selatan … . Tradisi Arabia Selatan yang diyakini bahwa mereka merupakan keturunan dari seorang nabi bernama Quahthan, yang di dalam Bibel disebut Joktan, dan Tradisi Arabia Utara yang diyakini sebagai keturunan nabi Adnan, dan darinya terbentuk keturunan Isma’il, putra Ibrahim … . Istilah Arab berarti “Nomads”. Bangsa Arab Utara dipandang sebagai Arab al-Musta’ribah (Arab yang di Arabkan), sementara bangsa Arab keturunan Quahthan yang tinggal di wilayah selatan menamakan dirinya sebagai Arab Muta’arribah, atau suku-suku hasil percampuran dengan Arab al-’Aribah (Arab Asli) … . Kelompok Arab yang asli ini, yakni keturunan Aram putra Shem putra nabi Nuh.” (Bangsa Arab’ dalam Cyril Glasse, Ensiklopedia Islam, 49-50)


“Adnan. Anak turunan Nabi Isma’il yang menjadi nenek moyang suku-suku Arabia Utara … nenek moyang suku Arabia Selatan adalah Quahthan, yang dalam Bibel disebut Joktan.” (‘Adnan’ dalam Glasse, 12-13)

Sedangkan sumber Kristen pun juga mengakui bahwa sebenarnya bangsa Arab bersaudara dengan bangsa Yahudi:
“Berita Alkitab yang pertama yang memberikan penjelasan mengenai penduduk Arabia adalah Daftar Bangsa-Bangsa dalam kitab Kejadian 10, yang mencantumkan sejumlah orang-orang Arab Selatan sebagai keturunan Yoktan dan Kusy. Kemudian hari sejumlah suku-suku dari Arab Utara disebut sebagai keturunan Abraham melalui Keturah dan Hagar (Kejadian 25). Lagi di antara keturunan Esau (Kejadian 36) sejumlah orang Arab disebut. Di masa Yakub, dua kelompok keturunan Abraham yaitu orang-orang Ismaili dan Medianit dijumpai sebagai pedagang-pedagang caravan (Kejadian 37:25-36).” (‘Arabia’ dalam The New Bible Dictionary, 54)

“orang Arab mencakup keturunan Aram (Kejadian 10:22), Eber (Kejadian 10:24-29), Abraham dari Keturah (Kejadian 25:1-4) dan dari Hagar (Kejadian 25:13-16) … Keturunan Joktan (anak Eber) mencakup beberapa suku Arab (Kejadian 10:26-29).” (‘Arabians’ dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible, vol-1, 182)


Jadi, apakah ada yang mau menerima atau tidak, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa bangsa Yahudi dan Arab adalah saudara sedarah dengan adanya nenek moyang yang sama, dan dengan demikian sesembahan nenek moyang mereka adalah sama dengan nama ‘Allah’ dalam dialek Arab, sekali pun ajaran/aqidahnya berbeda karena perbedaan dalam menerima wahyu yang tercantum dalam kitab suci masing-masing yang dianggap masing-masing sebagai benar dan berotoritas.

Allah, ‘IL’ dialek Arab


Memang nama tuhan ‘il’ semitik yang disebut dengan berbagai dialek pada suku-suku keturunan Sem yang menyebar bisa menyimpang dari aqidah aslinya, namun dalam suku Israel dan Arab kesamaan itu masih besar melalui tiga jalur keturunan penting, apalagi ketiga agama semitik/samawi mempercayai ‘el/ilah’ Abraham/Ibrahim sebagai bapak Orang Beriman atau bapak Monotheisme. Jadi penggunaan dialek ‘ilah’ sudah lama digunakan suku-suku Arab, baik pra Abraham/Ibrahim maupun sesudah masa Abraham/Ibrahim, jauh sebelum masa Kristen (abad-1) dan masa Islam (abad-7). Penggunaan dialek ‘ilah’ (yang ditekankan menjadi ‘Allah’ dengan kata sandang definitif) dikalangan Arab pada masa pra-Islam dipergunakan oleh suku-suku Arab baik yang menganut agama Yahudi, Kristen maupun kaum Arab ‘hanif’ yang menganut agama Abraham/Ibrahim (terutama suku Ibrahimiyah dan Ismaeliyah).

Di kalangan bangsa Arab masakini yang mayoritasnya menganut agama Islam, penggunaan nama ‘Allah’ digunakan secara luas secara bersama bahkan dalam Al-Quran nama itu disebut digunakan bersama baik oleh umat Islam maupun Nasrani seperti dalam kutipan berikut:

“Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah diatas bumi (Adam). Maka jawab mereka itu: Adakah patut Engkau jadikan diatas bumi orang yang akan berbuat bencana dan menumpahkan darah, sedang kami tasbih memuji Engkau dan menyucikan Engkau? Allah berfirman: Sesungguh-nya Aku mengetahui apa2 yang tiada kamu ketahui”. (Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, QS.2:30)

“Kami telah beriman kepada Allah dan (Kitab) yang diturunkan kepada kami dan apa2 yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak2nya, (begitu juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan ‘Isa, dan apa-apa yang diturunkan kepada nabi2 dari Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga diantara mereka itu dan kami patuh kepada Allah”. (Yunus, QS.2:136).

“(Yaitu) orang2 yang diusir dari negerinya, tanpa kebenaran, melainkan karena mereka mengatakan: Tuhan kami Allah. Jikalau tiadalah pertahanan Allah ter-hadap manusia, sebagian mereka terhadap yang lain, niscaya robohlah gereja2 pendeta dan gereja2 Nasrani dan gereja2 Yahudi dan mesjid2, di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah menolong orang yang meno-long (agama)Nya. Sungguh Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS.22:40)

Saat ini ada empat Alkitab dalam bahasa Arab dan keempatnya menggunakan nama ‘Allah’, dan penggunaan nama Allah bersama-sama oleh umat Islam dan Kristen di negara-negara berbahasa Arab tidak menjadi masalah (dalam Alkitab bahasa Aram-Siria Peshita, disebut ‘Alaha’). Memang di Malaysia pernah ada negara bagian yang melarang penggunaan nama ‘Allah’ sehingga Alkitab dalam bahasa Indonesia pernah dilarang masuk ke Malaysia, namun sekarang Alkitab berbahasa Indonesia yang memuat nama Allah sudah bebas masuk ke Malaysia, dan sekarang juga terbit terjemahan Alkitab dalam Bahasa Melayu (BM) yang juga menggunakan nama Allah.


Alm. Nurcholish Majid, cendekiawan Muslim dari universitas ‘Paramadina,’ mengenai banyaknya umat Islam Indonesia yang mengira bahwa istilah “Allah” itu khusus Islam, Cak Nur mengingatkan bahwa selain claim itu bertentangan dengan Qur’an sendiri (QS.12:106), juga bertentangan dengan kenyataan bahwa dari dahulu sampai sekarang, di kalangan bangsa Arab terdapat kelompok-kelompok non-Islam, yaitu Yahudi dan Kristen dan mereka juga menyebut Allah.” (Islam, Doktrin dan Peradaban, h.xcv)

Olaf Schumann, doktor teologi yang memperdalam Islamologi di Universitas Al-Ashar – Mesir selama tiga tahun, jadi tahu dengan benar situasi apa yang terjadi di negara Arab, mengungkapkan dengan jelas bahwa nabi Muhammad sendiri mengakui bahwa orang Kristen menggunakan nama yang sama unuk sesembahan mereka namun memang ada masalah di sini:

“Hal itu diakui pula dalam Al-Quran sendiri di mana nabi Muhammad dalam percakapan dengan orang Kristen dan Yahudi menggunakan pula kata Allah dan dengan sendirinya dicatatlah dalam buku suci umat Islam itu bahwa orang Yahudi dan Kristen menggunakan kata yang sama. Dalam tradisi Islam berbahasa Arab pun tidak pernah dipersoalkan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen menggunakan istilah yang sama dengan orang Islam untuk menyatakan Dia yang menjadi tujuan ibadah dan amal mereka. … Memang tidak dapat disangkal adanya suatu masalah. Namun yang menjadi masalah ialah soal dogmatika atau ‘aqida, sebab tiga agama surgawi itu mempunyai faham dogmatis yang berbeda mengenai Allah yang sama, baik hakekatnya maupun pula mengenai cara pernyataannya dan tindakan-tindakannya.” (Keluar Dari Benteng Pertahanan, 175,177).

Sekalipun faktanya penggunaan nama ‘Allah’ oleh orang Arab penganut agama Yahudi & Kristen dan orang Arab ‘hanif’ keturunan Ibrahim dan Ismael sudah lama terjadi sebelum kelahiran agama Islam, belakangan ini di Indonesia mulai ada kelompok tertentu baik di kalangan Kristen maupun Islam yang terlalu menekankan simbol-simbol agama daripada esensi agama itu, dan yang sekarang mulai lagi mempersoalkan hal itu (dengan kata lain menganggap peringatan Idul-Adha yang menceritakan tentang ‘Allah’ Ibrahim (QS.37:99-113) dianggap berbeda dengan ‘Allah’ Abrahamnya orang Arab penganut agama Yahudi & Kristen (Alkitab Kejadian 22:1-2/Ibrani 11:17-19)).
Ensyclopaedia Britannica menyebut bahwa nama ‘Allah’ dipergunakan baik oleh orang Kristen maupun Islam:

“Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, “the God.” The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for “God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.” (dibawah kata Allah).

Banyak kalangan Islam di Indonesia sendiri terbuka pemikirannya untuk mengerti kebenaran sejarah dan menyadarinya, bahkan Ensiklopedia Islam menyebut:

“Gagasan tentang Tuhan Yang Esa yang disebut dengan Nama Allah, sudah dikenal oleh Bangsa Arab kuno … Kelompok keagamaan lainnya sebelum Islam adalah hunafa’ (tngl.hanif), sebuah kata yang pada asalnya ditujukan pada keyakinan monotheisme zaman kuno yang berpangkal pada ajaran Ibrahim dan Ismail. (Glasse, Ensiklopedia Islam, hlm.50).

“Kata “Allah” merupakan sebuah nama yang hanya pantas dan tepat untuk Tuhan, yang melalui kata tersebut dapat memanggil-Nya secara langsung. Ia merupakan kata pembuka menuju Esensi (hakikat) ketuhanan, yang berada di balik kata tersebut bahkan yang tersembunyi di balik dunia ini. Nama “Allah” telah dikenal dan dipakai sebelum al-Qur’an diwahyukan; misalnya nama Abd al-Allah (hamba Allah), nama Ayah Nabi Muhammad. Kata ini tidak hanya khusus bagi Islam saja, melainkan ia juga merupakan nama yang, oleh ummat Kristen yang berbahasa Arab dari gereja-gereja Timur, digunakan untuk memanggil Tuhan.” (Glasse, hlm.23).


Khususnya buat nabi Isa Almasih, ternyata berdasarkan catatan alkitab Perjanjian Baru, beliau juga menyebut kata ‘El/Elohim/Eloah’, atau yang mirip dengan bunyi kata tersebut.Kitab Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam Bahasa Yunani namun khusus untuk ucapan Yesus ini, kalimatnya tidak diterjemahkan : Menarik sekali bahwa ketika Yesus sendiri berseru di kayu salib ia menterjemahkan kata 'El' dalam bahasa Ibrani itu menjadi 'Eloi' dalam bahasa
Aram yang dalam terjemahan LAI disebut sebagai bahasa Ibrani. Bahasa aslinya sebenarnya adalah 'hebraic dialekto' (dialek Ibrani) atau 'hebraisti' (lidah orang Ibrani). http://injil.ws/yesus/tuhan-allah.html

Ternyata Yesus tidak berseru ‘YHWH/Yahweh’, padahal beliau waktu itu bukan dalam kondisi dan situasi ‘sembarangan’ sesuai larangan dalam Perjanjian Lama : Kel 20:7 Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yg menyebut nama-Nya dngn sembarangan.

Tidak seorangpun punya
pikiran kalau ketika itu Yesus memanggil nama diri Tuhan 'YHWH/Yahweh' artinya Yesus sudah memanggil nama Tuhan dengan sembarangan,justru seharusnya dalam kondisi kritis tersebutlah Yesus paling pantas memanggil nama diri Tuhan yg dikeramatkan kaum Yahudi tersebut. lalu mengapa Yesus sampai lupa
dan malah memanggil nama Tuhan yg lain.?


Google Translite.



English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google