Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universiti Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristian yang berbahasa Yunani (The jawatan-kuasae has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).” Mengapa missionaris satu ini menyeru begitu?
Seruan semacam itu dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang-orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap Umat Islam dan kitab suci al-Qur’an. Perlu diketahui bahwa mayoritas cendekiawan Kristen sudah sejak lama meragukan otentisitas Bible. Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada ditangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campur-tangan manusia didalamnya, sehingga sukar untuk membedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang bukan. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland: “Until the beginning of the fourth century, the text of the New Testament developed freely….Even for later scribes, for example, the parallel passages of the Gospels were so familiar that they would adapt the text of one Gospel to that of another. They also felt themselves free to make corrections in the text, improving it by their own standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or more substantively.
St. Jerome juga dikatakan mengeluh soal banyaknya penulis Bible yang “wrote down not what they find but what they think is the meaning; and while they attempt to rectify the errors of others, they merely expose their own.” Disebabkan kecewa dengan kenyataan semacam itu, maka pada tahun 1720 Master of Trinity College, R. Bentley, menghimbau Umat Kristian agar mengabaikan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru keluaran 1592 versi Paus Clement (“… the ‘textus receptus’ [is] to be abandoned altogether”!). Seruan tersebut dilanjutkan dengan munculnya “critical edition” Perjanjian Baru hasil ‘utak-atik’ Brooke Foss Westcott (1825-1903) and Fenton John Anthony Hort (1828-1892).
Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan himbauan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum itu, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Flügel menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Corani Textus Arabicus. Kemudian datang Theodor Nöldeke yang berusaha merekonstruksi sejarah al-Qur’an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal. Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin mendekonstruksi Mushaf Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merekonstruksi teks al-Qur’an berdasarkan Kitab al-Mashāhif karya Ibn Abī Dāwūd as- Sijistānī yang katanya mengandung varian bacaan dalam ‘mushaf-mushaf tandingan’ (rival codices). Jeffery bermaksud meneruskan upaya Gotthelf Bergsträsser dan Otto Pretzl – dua orientalis yang pernah bertungkus-lumus
mengumpulkan foto lembaran-lembaran
(manuskrip) al-Qur’an dengan tujuan membuat edisi kritis al-
Qur’an (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke- II berkecamuk), sebuah ambisi yang belum lama ini di- echo-kan oleh seorang aktivis Liberal di Indonesia. Didorongkan oleh minatnya yang berlebih terhadap qira’āt-qira’āt lemah lagi menyeleweng
(Nichtkanonische
Koranlesarten) Bergsträsser berupaya mengedit karya Ibn Jinnī dan Ibn Khālawayh. Bagi para orientalis ini, ‘isnād’ tidak penting dan, karena itu, riwayat yang ‘shādzdz’ boleh saja dianggap ‘shahīh’, yang ‘āhād’ dan ‘gharīb’ boleh saja menjadi ‘mutawātir’ dan ‘masyhūr’, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna. Dalam urusan ini, teknik dan strategi utamanya adalah menukar-balikkan kriteria dan nilai, mengetepikan yang fundamental dan mengetengahkan yang trivial. Itulah sebabnya mengapa mereka sibuk mengorek-orek isu nasikh-mansukh, isyu adanya surat tambahan versi golongan Syi’ah, isyu “Gharānīq” dan lain sebagainya. Ada pula orientalis yang konon ingin merombak susunan ayat dan surah al-Qur’an secara kronologis, mau mengoreksi bahasa al-Qur’an ataupun mengubah redaksi sebagian ayat-ayatnya.
Kajian orientalis terhadap al-Qur’an tidak sebatas mempertanyakan otentisitinya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristian, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan al-Qur’an (‘theories of borrowing and influence’). Ada yang berusaha mengungkapkan segala yang boleh dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’ tersebut, seperti dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristian (semisal Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain), dan ada pula yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka mengatakan bahwa cerita- cerita dalam al-Qur’an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat. Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan negatif seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson: “Muhammad picked
up all his knowledge of this kind [i.e. al-Qur’an] by hearsay and makes a brave show with
such borrowed trappings– largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.” Walau bagaimanapun, segala upaya mereka ibarat buih, muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas Umat Islam terhadap kitab suci al-Qur’an, apatah lagi membuat mereka murtad.
Kekeliruan dan Takhayul Orientalis
Al-Qur’an merupakan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristian, setelah mereka gagal menghancurkan sīrah dan sunnah Rasulullāh saw. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari sekedar legenda dan cerita fiktif. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan konco- konconya. Karena itu mereka sibuk merekonstruksi biografi
Nabi Muhammad saw khususnya dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin Umat Islam melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi ‘Isa as. Bagi mereka ‘Moses’ cuma tokoh fiktif (invented, mythical figure) dalam dongeng Bible, manakala tokoh ‘Jesus’ masih lagi diliputi misteri dan ceritera-ceritera bohong dan palsu. Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian ‘Jesus historikal’ mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah mengenai Nabi Muhammad saw? Demikian seru mereka. Muncullah Arthur Jeffery yang menulis The Quest of the Historical Mohammad, dimana ia tak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad saw sebagai “kepala perampok” (robber chief). Usahanya tersebut diteruskan kemudian oleh F. E.
Peters dan belum lama ini diulangi lagi oleh seorang dengan nama samaran “Ibn Warraq.” Missionaris-orientalis tersebut tidak menyadari bahwa tulisan mereka sesungguhnya hanya menunjukkan kebusukan-hati
dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana diperkatakan oleh seorang penyelidik: “The studies carried out in the West … have demonstrated only one thing: the anti-Muslim prejudice of their authors.” Sikap semacam ini juga nampak dalam kajian Orientalis terhadap hadis. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristian atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam khayalan mereka, teori evolusi juga berlaku untuk hadis; mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadis muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad saw wafat, bahwa hadis mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-
nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadis secara systematis (isnād), menurut mereka, baru muncul
pada zaman Daulat ‛Abbāsiyyah. Karena itu, mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadis hanya sedikit saja yang otentik, manakala sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook, dan para pengikutnya. Para orientalis cum missionaris ini ingin supaya Umat Islam membuang tuntunan Rasulullah saw sebagaimana orang Kristian meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Jesus.
Isu Otentisiti Naskah al- Qur’an
Kembali ke masalah otentisiti kitab suci al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama , pada prinsipnya al-Qur’an bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qirā’ah atau recitation) dalam erti ucapan dan sebutan. Baik proses turun dan pewahyuannya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan atau transmisinya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ al-Qur’an adalah “membaca dari ingatan (qara’a ‘an zahri qalb, yakni to
recite from memory).” Sementara tulisan berfungsi sebagai penunjang semata- mata. Sebabnya karena ayat- ayat al-Qur’an dicatat –yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dsb–berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang Qāri’/Muqri’. Proses transmisi semacam ini, dengan isnād secara mutawātir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian al-Qur’an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrīl as kepada Nabi saw dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian sehingga hari ini. Ini berbeda dengan kes teks Bible, dimana tulisan–yakni manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya–memainkan
peranan utama dan berfungsi sebagai acuan serta landasan bagi Testamentum alias Gospel. Jelaslah bahwa seluruh kekeliruan dan kesalahfahaman orientalis berpunca dari sini. Orientalis semacam Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, bertolak dari sebuah asumsi keliru, menganggap al-Qur’an sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi yang keliru ini (i.e. taking “the Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism. Akibatnya, mereka menganggap al-Qur’an
sebagai karya sejarah (historical product), hasil rakaman situasi orang Arab abad ke-7 dan 8M. Mereka juga
mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!), dan karena itu mereka konon mau membuat edisi kritis (critical edition), ingin merestorasi teks al-Qur’an dan bercadang membuat naskah baru berdasarkan manuskrip- manuskrip yang ada. Bahwa mereka menyamakan al- Qur’an dengan Bible telah diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig, Profesor di Universiti Saarbrücken, Jerman: “Bercermin dari [sejarah Kristian], dimana ajaran dan riwayat hidup Jesus dibentuk secara kerygmatik dan dibangun melalui tradisi [yang berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya] selama 40 tahun sampai munculnya Injil Markus, sehingga Jesus sejarah
[yang sesungguhnya] hampir mustahil untuk diketahui, maka [bercermin dari kes ini] boleh jadi tradisi [riwayat- riwayat] mengenai Nabi Muhammad saw pun (yakni, al-Qur’an dan Hadis) melalui proses serupa. (Ein Blick darauf, wie in den vierzig Jahren bis zur Entstehung des Markusevangeliums Predigt und Leben Jesu kerygmatisch umgeformt und durch Gemeindetradition
angereichnet wurden, so dass der historische Jesus kaum noch zu erkennen ist, mag zeigen, wie auch die Mohammedueberlieferung
variiert worden sein koennte).”
Kedua , meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, al- Qur’an juga dicatat dengan menggunakan pelbagai medium tulisan. Sehingga wafatnya Rasulullah saw, hampir seluruh catatan- catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi dan karena itu berbeda kualiti dan kuantitinya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsīr/glosses) di pinggir ataupun di sela-sela antara ayat yang mereka tulis. Baru kemudian, menyusul susutnya jumlah penghafal al-Qur’an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam‘) pun dilakukan oleh sebuah jawatan-kuasa yang dibentuk
atas inisiatif Khalīfah Abū Bakr as-Siddīq sehingga al- Qur’ān dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first- hand) dan mutawātir dari Nabi saw. Setelah wafatnya Abū Bakr ra (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah ‛Umar ra sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah ‛Uthmān ra. Pada masa beliaulah, atas desakan permintaan sejumlah Sahabat, sebuah jawatan-kuasa pakar sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira’āt yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai kesahīhan periwayatannya untuk kemudian melakukan standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’āt-qira’āt mutawātir yang disepakati kesahīhan periwayatannya dari Nabi saw
Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya. Para orientalis yang ingin mengubah-ubah al- Qur’an biasanya akan memulai dengan mempertanyakan fakta sejarah ini seraya menolak hasilnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalah kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 Masehi. Jeffery, misalnya, dengan sesuka-hatinya berkata: “That he [i.e. Abū Bakr ra.] ever made an official recension as the orthodox theory demands is exceedingly doubtful.” Ia juga mengklaim bahwa “…the text which Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went before the canonical text.” Di sini nampak jelas bagaimana Jeffery tidak mengerti, berpura-pura tak tahu dan sengaja lupa bahwa al-Qur’an tidak sama sejarahnya dengan Bible, bahwa al-Qur’an bukan lahir dari manuskrip, akan tetapi sebaliknya: manuskrip lahir dari al-Qur’an.
Ketiga , salah-faham orientalis mengenai rasm dan qira’āt. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, al-Qur’an ditulis ‘gondol’, tanpa tanda-baca sedikitpun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm ‛Uthmāni sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para Sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan. Disinilah orientalis semacam Jeffery, Puin dan Luxenberg telah salah-faham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul ini menyebabkan variant readings –sebagaimana terjadi dalam kes Bible. Mereka juga keliru menyamakan qira’āt dengan ‘readings’, padahal qira’āt adalah ‘recitation from memory’ dan bukan ‘reading the text’. Mereka tidak faham bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus mengikuti bacaan yang diriwayatkan dari Nabi saw (“ar-rasmu tābi‘un li l- riwāyah”) dan bukan sebaliknya. Orientalis juga salah-faham mengenai ‘rasm’ al-Qur’an. Dalam bayangan keliru mereka, bermacam- macam qira’āt jawatan- kuasAbūl karena rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca boleh saja berimprovisasi dan membaca sesuka-hatinya. Padahal ragam qira’āt telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm. Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm al-Qur’an telah disepakati dan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung pelbagai qira’āt yang diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadhf) alif pada kata-kata berikut:
1. “ﻚﻠﻤ ” (QS 1:4) demi mengakomodasi qira’āt Imam ‛Āsim, al-Kisā’ī, Ya‘qūb dan Khalaf (“māliki”–dibaca panjang, dengan alif), sekaligus qira’āt Abū ‘Amr, Ibn Kathīr, Nāfi‘, Abū Ja‘far, dan Ibn ‘Āmir (“maliki”– dibaca pendek, tanpa alif).
2- “ﻦﻭﻋﺪﺧﻴ ” (QS 2:9) sehingga memungkinkan dibaca “yukhādi‘ūna” (berdasarkan qira’āt Nāfi‘, Ibn Kathīr dan Abū ‘Amr) dan “yakhda‘ūna” (mengikut qira’āt ‛Āsim, al-Kisā’ī, Ibn ‘Āmir dan Abū Ja‘far.
3. “ﺎﻧﺪﻋﻭ ” (QS 2:51) ditulis demikian untuk menampung qira’āt Abū ‘Amr, Abū Ja‘far, Ya‘qūb (“wa‘adnā”–pendek, tanpa alif setelah wāw) dan qira’āt Ibn Kathīr, ‛Āsim, al- Kisā’ī serta Ibn ‘Āmir (“wā‘adnā”–wāw panjang, dengan alif).
Mungkin ada yang bertanya: Apakah semua qira’āt yang ada telah tertampung oleh rasm ‛Uthmāni? Adakah qira’āt mutawātir yang tidak terwakili oleh rasm ‛Uthmāni? atau: Apakah naskah-naskah yang dikirim oleh Khalifah ‛Uthmān ra ke berbagai kota (Mekkah, Basrah, Kufah, Damaskus) seragam rasmnya dan sama dengan yang ada di Madinah atau berbeda-beda, yakni sesuai dengan harf atau qira’āt yang dominan di kota tersebut?
Perlu ditegaskan bahwa pada prinsipnya, tidak ada qira’āt mutawātir yang tidak terwakili, semuanya telah ditampung oleh rasm ‛Uthmāni, sebab para ulama sepakat tentang syarat-syarat diterimanya sebuah qira’āt, yaitu: (1) diriwayatkan secara mutawātir, (2) sesuai dengan rasm mushaf ‛Uthmāni atau– lebih tepatnya–sesuai dengan salah satu dari 6 masahif rasm ‛Uthmāni (yakni: yang dikirim ke Mekkah, Basrah, Kufah, Damaskus, Madinah, dan yang disimpan oleh Khalifah ‛Uthmān ra sendiri), lalu (3) sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab. Di sini, yang dimaksud dengan syarat “sesuai dengan salah satu masahif rasm ‛Uthmāni” adalah “sesuai dengan qira’āt yang ditulis dalam mushaf tertentu, meskipun tidak pada yang lain.” Contohnya, QS 26:217. Dalam mushaf yang dikirim ke Madinah dan (Damaskus) tertulis “ﻝﻜﻭﺘﻓ ” (fa-tawakkal dengan fā’–sesuai dengan qira’āt yang diriwayatkan oleh Nāfi‘, Ibn ‘Āmir , Abū Ja‛far), manakala dalam mushaf yang lain (Mekkah, Basrah, Kufah) tertulis “ﻝﻜﻭﺘﻭ ” (wa- tawakkal dengan wāw– mengikut qira’āt ‛Āsim, Ibn Kathīr, Abū ‘Amr, dan al- Kisā’ī).
Perlu ditegaskan bahwa dalam kaitannya dengan orthografi mushaf ini, secara umum qira’āt-qira’āt yang diterima karena telah memenuhi tiga syarat di atas dapat dibahagikan sebagai berikut : 1. Dua qira’āt yang berbeda, tetapi hanya dituliskan sebuah
sahaja, seperti “ﻃﺮﺼ ” (sirāt), “ﻃﺼﺒﻴ ” (yabs utu), “ﺮﻃﻴﺼﻤ ” (musaytir). Semuanya ditulis dengan huruf sād, padahal asalnya huruf sīn, maka boleh dibaca dengan sād sesuai rasm-nya, dan boleh juga dibaca dengan sīn sesuai dengan asalnya. 2. Dua qira’āt atau lebih yang berbeda, tetapi ditulis dengan satu bentuk rasm yang boleh menampung semuanya, seperti rasm “kāf-bā’/tā’-yā’- rā’” yang mewakili dua qira’āt “ ﻝﻗ ﺎﻤﻬﻴﻓ ﻢﺜﺇ ﺮﻴﺒﻜ dan ﻝﻗ ﺎﻤﻬﻴﻓ ﻢﺜﺇ ﺮﻴﺜﻜ ” (QS 2:219), sebab dalam rasm ‛Uthmāni semuanya ditulis tanpa titik, baris atau harakat. Contoh lainnya terdapat dalam QS al- Hujurāt ayat 6: rasm “fā’-tā’- bā’/thā’-yā’/bā’-nūn/tā’-
wāw-alif” dapat menampung dua qirā’at sekaligus, yakni “ﺍﻭﻧﻴﺒﺘﻓ ” dan “ﺍﻭﺘﺒﺜﺘﻓ ”. 3. Perkataan atau kalimat dalam qira’āt yang mengandung tambahan atau pengurangan dan tidak mungkin ditulis dua kali atau lebih karena akan tercampur dan dapat mengacaukan. Misalnya QS 26:217 tersebut di atas. Contoh lainnya dalam QS 2:132, dimana terdapat dua qiraat: “wa washshā bihi” dan “wa awshā”. Yang pertama dibaca oleh selain Nāfi‘, Ibn ‘Āmir dan Abū Ja‛far, sehingga dalam mushaf yang dikirim ke Shām dan Madinah tertulis: “ﻰﺼﻭﺃﻭ ” (wa awshā), manakala dalam mushaf yang dikirim ke Kufah dan Basrah ditulis tanpa alif, “ ﻰﺼﻭﻭ ” (wa washshā). Yang masuk kategori ketiga cukup banyak. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Sha‘bān Muhammad Ismā‛īl dari Universiti al- Azhar, jumlah qira’āt yang ditulis dengan rasm berbeda- beda dalam mashahif ‛Uthmān, tanpa pengulangan, mencapai 58 perkataan. Dari sini jelas, mushaf-mushaf yang dikirim oleh Khalifah ‛Uthmān ra ke berbagai kota itu beragam rasmnya, mengikut bacaan Sahabat yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung pada teks. Dan memang, qira’āt Sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak serta- merta sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama. Boleh saja seorang Imam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota lain. Contohnya, Imam Hafs di Kufah membaca QS az- Zukhruf ayat 71: “tashtahīhi” (ﻪﻴﻬﺘﺸﺘ dengan dua ha), seperti tertera dalam mushaf Madinah dan , padahal dalam mushaf Kufah tertulis dengan satu ha (ﻪﺘﺸﺘ “tashtahi”). Ini dibolehkan mengingat diantara syarat diterimanya sebuah qira’āt adalah sesuai dengan salah satu rasm mushaf ‛Uthmāni. Sebaliknya, jika suatu qira’āt tidak tertera dalam salah satu mushaf ‛Uthmāni, qira’āt tersebut dianggap ‘shādhdh’ dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan rasm yang disepakati, rasm yang telah menampung dan mewakili semua qira’āt-qira’āt mutawātir.
Jika demikian halnya, maka spekulasi sesuka-hati atau bacaan liberal seperti yang dibuat-buat oleh para orientalis semacam Bellamy, Puin, Luxenberg wa man tabi‘ahum sudah pasti a fortiori ditolak.
Lihat al-Suyutī (w. 911 H), al- Itqān fi ‘Ulām al-Qur’ān, ed. Dr. Mustafā Dib al-Bughā (Beirut: Dār Ibn Kathīr, 1996), cet. ke-3,I:238.)