Halaman

Kesalahan Ilmiah Teks Bible

R. P. de Vaux, dalam pengantar terjemahan Kitab
Kejadian mengakui adanya kritik-kritik dan mengakui
pula kebenaran kritik-kritik tersebut, akan tetapi,
baginya, tidaklah penting untuk mengadakan penyusunan
baru terhadap kejadian-kejadian pada masa yang lampau.
Ia menulis dalam catatan-catatannya: bahwa Bibel
menyebutkan kenangan sesuatu atau beberapa banjir yang
dahsyat di lembah Tigris atau Euphrate, yaitu
banjir-banjir yang dibesar-besarkan dalam tradisi
sehingga menjadi suatu bencana dunia, adalah tidak
penting; yang penting adalah bahwa pengarang Kitab
Kejadian telah mengisi kenangan itu dengan ajaran abadi
mengenai keadilan dalam rahmat Tuhan, serta kejahatan
manusia, dan keselamatan bagi orang yang benar.

Dengan begitu maka untuk merubah suatu legenda rakyat
menjadi suatu kejadian suci yang perlu diyakini oleh
umat beragama, adalah suatu tindakan yang dapat
dibenarkan selama pengarang memakainya untuk contoh
dalam pelajaran agama. Sikap apologetik semacam itu
akan membenarkan segala macam penyalahgunaan
tulisan-tulisan yang dianggap suci dan mengandung sabda
Tuhan. Membenarkan campur tangan manusia dalam hal-hal
yang suci berarti menutupi segala perubahan-perubahan
yang dilakukan oleh manusia terhadap teks Bibel. Jika
terdapat suatu maksud teologik maka segala perubahan
dibolehkan, dan dengan begitu maka orang membenarkan
perubahan-perubahan yang dilakukan oleh
pengarang-pengarang Sakerdotal (pendeta-pendeta) pada
abad VI serta kesibukan-kesibukan legalistis yang
akhirnya menghasilkan riwayat-riwayat khayalan yang
sudah kita lihat.

Ada kelompok yang tidak kecil daripada ahli-ahli tafsir
Kristen yang merasa bangga untuk menerangkan
kekeliruan, kesalahan dan kontradiksi yang terdapat
dalam Bibel dengan mengemukakan alasan bahwa para
pengarang Bibel terpengaruh oleh faktor-faktor sosial
daripada peradaban atau mental yang berbeda dengan
peradaban dan mental sekarang; ini berarti bahwa
persoalan kekeliruan dan kontradiksi tersebut berakhir
dan menjelma menjadi suatu jenis yang khusus daripada
kesusasteraan. Penggunaan istilah "suatu jenis yang
khusus daripada kesusasteraan" ini dalam perdebatan
yang rumit di antara para ahli tafsir Bibel telah dapat
menutupi segala kesulitan. Tiap kontradiksi antara dua
teks dapat dijelaskan dengan: perbedaan cara ekspresi
daripada tiap pengarang, khususnya perbedaan gaya
sastranya. Sudah tentu argumentasi seperti ini tidak
dapat diterima oleh semua orang, karena argumentasi
tersebut tidak serius. Tetapi argumentasi tersebut
masih ada orang yang memakainya sekarang, dan dalam
membicarakan Perjanjian Baru, kita akan melihat
orang-orang menafsirkan kontradiksi yang ada didalamnya
dengan cara yang berlebihan.

Suatu cara lain untuk memaksakan hal-hal yang tak dapat
diterima oleh logika dalam teks Bibel adalah dengan
mengelilingi teks tersebut dengan
pertimbangan-pertimbangan apologetik. Dengan begitu
maka perhatian pembaca dialihkan dari problema crucial
mengenai kebenaran kepada problema-problema lain.

Pemikiran-pemikiran Kardinal Danielou mengenai Banjir
yang dimuat dalam majalah Dieu Vivant (Tuhan yang
hidup), nomor 38 tahun 1947 halaman 95-112 dengan judul
"Banjir Pembaptisan dan Hukuman," menunjukkan cara
tersebut. Ia menulis: "Tradisi yang paling kuno
daripada Gereja telah terlihat dalam Teologi Banjir,
gambar Yesus Kristus dan gambar Gereja. Ini adalah
hikayat yang besar sekali artinya. Hukuman yang
mengenai seluruh umat manusia." Setelah mengutip
Origene yang dalam karangan: "Ceramah tentang
Yehezkiel," membicarakan tentang tenggelamnya seluruh
Dunia dan diselamatkannya dalam Perahu, Kardinal
Danielou tersebut membicarakan tentang pentingnya angka
delapan (yang menunjukkan jumlah orang yang
diselamatkan oleh Perahu; Nuh dan isterinya serta tiga
orang anaknya dan isteri-isteri mereka). Ia mengulangi
yang ditulis oleh Yusten dalam Dialognya "mereka itu
memberikan simbol hari ke delapan, hari Yesus Kristus
dibangkitkan dari mati" dan ia menulis: "Nuh, yang
dilahirkan pertama daripada penciptaan baru, suatu
citra Yesus Kristus yang merealisir apa yang
digambarkan oleh Nuh." Ia meneruskan perbandingan
antara Nuh yang diselamatkan oleh kayunya perahu dan
oleh air yang mengapungkannya, dan air pembaptisan (air
Banjir yang melahirkan kemanusiaan baru) dan kayu
salib. Kardinal menekankan nilai simbolisme dan menutup
uraiannya dengan menekankan kekayaan spiritual dan
doktrinal daripada sakramen Banjir!

Banyak sekali yang dapat dikatakan mengenai
pendekatan-pendekatan apologetik. Pendekatan semacam
itu menerangkan suatu kejadian yang tak dapat
dipertahankan kebenarannya, dan pada waktu yang
diterangkan oleh Bibel, dengan penjelasan yang bersifat
universal. Dengan tafsiran seperti yang ditulis oleh
Kardinal Danielou kita kembali ke abad pertengahan di
mana kita harus menerima teks apa adanya dan segala
pembicaraan mengenainya terlarang kecuali pembicaraan
yang menguatkan.

Meskipun begitu, saya merasa segar bahwa sebelum
periode obscurantisme yang dipaksakan ini, kita baca
sikap-sikap yang logik seperti sikap Agustinus yang
menunjukkan pemikiran yang maju, lebih dahulu daripada
pemikiran yang ada pada masa hidupnya.

Pada periode pendeta-pendeta Gereja, problema kritik
teks sudah terasa oleh karena Agustinus menyebutkannya
dalam suratnya no. 82, yaitu yang mengandung
kalimat-kalimat penting sebagai berikut: "Khusus kepada
fasal-fasal dari Bibel, yang dinamakan kanonik (yang
telah dilegalisir oleh Paus) saya memberi perhatian dan
kehormatan, dan saya yakin seyakin-yakinnya bahwa tak
seorangpun daripada para pengarang-pengarangnya yang
melakukan kekeliruan dalam menulisnya. Jika dalam
fasal-fasal itu saya jumpai suatu pernyataan yang
kelihatan bertentangan dengan kebenaran, maka saya
tidak ragu untuk mengatakan bahwa: teks (yang saya
baca) itu salah, atau si penterjemah tidak
menterjemahkan teks asli sebaik-baiknya, atau pikiran
saya kurang cerdas.

Bagi Agustinus, tak terbayang bahwa suatu teks kitab
suci dapat mengandung kesalahan. Agustinus memberi
penjelasan tentang "dogma bahwa Bibel tidak bisa salah"
secara terang dan jelas. Jika ada kalimat-kalimat yang
nampaknya kontradiksi dengan kebenaran, ia mencari
sebabnya, dan tidak mengenyampingkan kemungkinan sebab
itu datang dari manusia. Sikap semacam itu adalah sikap
orang yang percaya dan mempunyai daya kritik. Pada
zaman Agustinus ( 354 - 430 M ) belum ada kemungkinan
konfrontasi antara teks Bibel dan Sains. Suatu
pandangan yang luas yang serupa dengan pandangan
Agustinus akan menghilangkan kesulitan-kesulitan yang
disebabkan konfrontasi antara beberapa teks dalam Bibel
dengan pengetahuan ilmiah.