Halaman

Ahlul Kitab Dari Dulu Sampai Kini

Sesungguhnya agama yang diakui Allah adalah al-Islam. Dan tidaklah kaum yang diberi al-Kitab itu berselisih paham, kecuali setelah datangnya bukti yang meyakinkan karena kedengkian di antara mereka.” (QS Ali Imran: 19).

AL-Quran juga menyebutkan bahwa kaum ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) memang tidak sama. Ada yang kemudian beriman kepada kenabian Muhammad saw. Jumlahnya sedikit (QS 2:88). Tetapi sebagian besar fasik. (QS 3:110). Di zaman Rasulullah saw, ada dua tokoh Yahudi yang terkemuka yang akhirnya memeluk Islam, beriman kepada risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw. Keduanya, yakni Hushein bin Salam dan Mukhairiq, menjadi bahan cemoohan kaumnya sendiri. Jika sebelumnya mereka sangat dihormati, setelah masuk Islam, mereka dikucilkan.

Moenawar Khalil, dalam bukunya, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw (Jakarta: GIP, 2001), menceritakan, Hushein bin Salam kemudian diganti namanya oleh Rasulullah saw menjadi Abdullah bin Salam.

Dia pernah membuktikan bagaimana sikap kaumnya terhadap dirinya. Suatu ketika, kaum Yahudi datang kepada Rasulullah, saat Abdullah bin Salam sedang di sana. Dia berpesan kepada Rasulullah agar menanyakan kepada kaumnya, bagaimana pandangan mereka terhadap dirinya. Saat kaum Yahudi datang, Rasulullah saw bertanya pada mereka, bagaimana pandangan mereka terhadap Husein. Yahudi menjawab: ”Ia adalah sebaik-baik orang kami dan sebaik-baik anak lelaki orang kami. Ia adalah semulia-mulia orang kami dan anak lelaki dari seorang yang paling alim dalam golongan kami, karena dewasa ini di kota Madinah tidak ada seorangpun yang melebihi kealimannya tentang kitab Allah (Taurat).”

Kaum Yahudi itu memuji-muji Abdullah. Kemudian Abdullah muncul dan mengajak kaum Yahudi untuk beriman pada kenabian Muhammad saw. Abdullah mengatakan kepada kaumnya, bahwa mereka sebenarnya telah memahami Muhammad adalah utusan Allah, sebab sifat-sifatnya telah disebutkan dalam Kitab mereka.

Mendengar ucapan Abdullah bin Salam, kaum Yahudi berbalik mencaci maki, dan menuduhnya sebagai pendusta. Sebab, dia sudah tidak lagi memeluk agama Yahudi. Ketika itu, turunlah wahyu kepada Rasulullah saw: ”Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al Qur'an itu datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al Qur'an lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim".(QS Al-Ahqaf ayat 10)

Setelah kabar keislaman Abdullah bin Salam tersiar di kalangan kaum Yahudi, maka mereka dengan congkak dan sombong mengata-mengatai, mencaci-maki, menghina, menjelek-jelekkan dan memusuhinya dengan sekeras-kerasnya. Abdullah bin Salam tidak mempedulikan caci maki keluarga dan kaumnya. Dia terus bertahan dalam Islam dan termasuk sahabat Nabi dari kaum Anshar. Ia meninggal tahun 43 H di Madinah, di masa Khalifah Mu’awiyah.

”Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran ayat 113-115)

Abdullah bin Salam termasuk diantara kaum Yahudi yang menyimpang dari tradisi kaumnya yang menolak kenabian Muhammad saw. Ia berani menentang tradisi kesombongan kaumnya sendiri. Di antara kaum Yahudi, ada juga yang berani mengkritik ajaran agamanya dan praktik-praktik kebiadaban kaumnya sendiri, meskipun mereka tidak sampai memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Dr. Israel Shahak. Guru besar biokimia di Hebrew University ini memang bukan Yahudi biasa. Dia tidak seperti sebagaimana kebanyakan Yahudi lainnya, yang mendukung atau hanya bengong saja menyaksikan kejahatan kaumnya. Suatu ketika, saat dia berada di Jerusalem, pakar biokimia dari Hebrew University ini menjumpai kasus yang mengubah pikiran dan jalan hidupnya. Saat itu, hari Sabtu (Sabath) Shahak berusaha meminjam telepon seorang Yahudi untuk memanggil ambulan, demi menolong seorang non-Yahudi yang sedang dalam kondisi kritis.

Di luar dugaannya, si Yahudi menolak meminjamkan teleponnya. Orang non-Yahudi itu pun akhirnya tidak tertolong lagi. Prof. Shahak kemudian membawa kasus ini ke Dewan Rabbi Yahudi – semacam majlis ulama Yahudi – di Jerusalem. Dia menanyakan, apakah menurut agama Yahudi, tindakan si Yahudi yang tidak mau menyelamatkan orang non-Yahudi itu dapat dibenarkan oleh agama Yahudi. Lagi-lagi, Prof. Shahak terperangah. Dewan Rabbi Yahudi di Jerusalem (The Rabbinical Court of Jerusalem) menyetujui tindakan si Yahudi yang mengantarkan orang non-Yahudi ke ujung maut. Bahkan, itu dikatakan sebagai ”tindakan yang mulia”. Prof. Shahak menulis: ”The answered that the Jew in question had behaved correctly indeed piously.”

Kasus itulah yang mengantarkan Prof. Shahak untuk melakukan pengkajian lebih jauh tentang agama Yahudi dan realitas negara Israel. Hasilnya, keluar sebuah buku berjudul Jewish History, Jewish Religion (London: Pluto Press, 1994). Dalam penelitiannya, ia mendapati betapa rasialisnya agama Yahudi dan juga negara Yahudi (Israel). Karena itulah, dia sampai pada kesimpulan, bahwa negara Israel memang merupakan ancaman bagi perdamaian dunia. Katanya, “In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond.”

Sebagai satu ”negara Yahudi” (a Jewish state), negara Israel adalah milik eksklusif bagi setiap orang yang dikategorikan sebagai ”Jewish”, tidak peduli dimana pun ia berada. Shahak menulis: “Israel ’belongs’ to persons who are defined bu the Israeli authorities as ‘Jewish’, irrespective of where they live, and to them alone.”

Dr. Israel Shahak menggugat, kenapa yang dipersoalkan hanya orang-orang yang bersikap anti-Yahudi. Sementara realitas pemikiran dan sikap Yahudi yang sangat diskriminatif terhadap bangsa lain justru sering diabaikan.